Waiters

Posted by : robinhoo September 15, 2024

Catatan

H.Rachmat Rolau

ADA banyak sebutan bagi pelayan. Di restoran dan tempat-tempat hiburan, pelayan disebut waiters. Di mall-mall  disebut pramuniaga. Di rumah makan disebut pramusaji. Tetapi apa pun sebutannya, hakekat pelayan adalah melayani sebaik mungkin tamu-tamu yang datang ke tempat mereka. Tidak membedakan siapa tamunya. Apakah pejabat, atau si tukang sapu. Yang penting mereka memesan apa yang diinginkan lalu bayar. Itu saja.

Pelayan tidak boleh minta atau mungut jasa atas pelayanannya. Sebab, pembayaran oleh tamu langsung ke pemilik usaha atau yang dipercaya untuk itu. Kalau pun ada pelayan yang mendapatkan uang jasa atau tip dari tamu tertentu, itu karena sang tamu merasa terlayani dengan baik dan memuaskan sehingga pantas diberi ucapan terimakasih.

Mengapa pelayan tidak boleh meminta uang jasa dari tamu-tamu yang dilayani? Sebab, sang pelayan sudah mendapatkan gaji setiap bulan dari sang pemilik usaha tempatnya bekerja. Pastinya, mereka sudah mendapatkan jasa dari perusahaan sehingga tidak perlu lagi meminta imbalan.

Dalam konteks pemerintahan, kepala daerah dan pejabat penentu kebijakan itu sesungguhnya adalah pelayan. Pelayan masyarakat yang haram hukumnya memungut atau mengutip uang dari masyarakat. Kalau pun di kantor-kantor pelayanan publik  ada pungutan, tentu bukan untuk pribadi tetapi untuk negara atau daerah.

Bila ada pungutan yang membebani masyarakat, harus dilakukan secara profesional. Artinya, harus ada bukti pembayaran yang diberikan kepada pihak terpungut.  Bila pungutan itu tidak disertai tanda terima atau bukti pembayaran yang sah, maka patut diduga itu pungutan liar yang hampir pasti masuk ke kantong sang pelayan.

Ada dua ciri pembayaran resmi. Pertama, setiap pungutan selalu dibuktikan dengan kwitansi atau bukti pembayaran yang dikeluarkan oleh kantor yang bersangkutan. Kedua transfer melalui rekening bank milik kantor atau lembaga itu. Di luar dua cara tersebut, sekali lagi ini adalah indikasi pungutan yang tidak resmi.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa pemerintah dalam melayani masyarakat juga mengalami kesulitan dalam hal pengadaan kertas dan buku dokumen yang banyak, sehingga sebagian tidak tercover oleh anggaran yang tersedia. Dalam posisi ini, pemereintah harus menarik uang kompensasi dari masyarakat guna menutup kekurangan itu.

Tetapi jika itu alasannya, maka seperti yang sudah dijelaskan di atas, pungutan harus dilakukan secara resmi pula sehingga masyarakat tidak dibuat bertanya-tanya tentang tujuan pengutan tersebut. Suatu waktu saya dihubungi seorang direktur sebuah perusahaan besar di Kaltara. Sang direktur meminta saya membantu menguruskan izin usahanya yang sudah lama belum klier. Padahal, secara administrasi dan prosedur sudah tidak masalah.

Meski begitu, dokumen  perusahaan itu belum juga mereka terima. Saya sebagai wartawan yang  hampir 30 tahun menekuni dunia jurnalisme  sering mengalami kejadian-kejadian seperti ini. Karena itu saya sarankan kepada perusahaan itu untuk segera mendatangi kantor perizinan dimaksud dengan tidak lupa membawa titipan sekadarnya sebagai tanda terimakasih.

Saran saya ternyata efektif. Direktur perusahaan itu tidak lagi menelepon saya. Mungkin sudah aman alias sudah beres. Kepada teman-teman saya sering katakana, bahwa kita hidup di negera yang tingkat apologetic pejabatnya tinggi. Berbagai alasan dan pembenaran dibuat hanya untuk menutupi persepsi untuk tidak disebut koruptor.

Tetapi kita tidak boleh mengukur korupsi pada warisan orde baru. Sebab kalau persepsi korupsi di era orde baru selalu menjadi alasan orang korupsi, maka sampai dunia kiamat pun korupsi di negeri nii tidak akan pernah berakhir. Mestinya, orde baru menjadi contoh yang memalukan reformasi bukan menjadi alasan pembenaran korupsi.(**)

RELATED POSTS
FOLLOW US