Pemimpin Ideal

Posted by : robinhoo Agustus 11, 2024

PEMIMPIN itu sejatinya mereka yang mengerti keinginan dan kebutuhan rakyatnya. Dalam konteks moral, pemimpin merupakan panutan dan tauladan untuk semua. Maka, ketika sang pemimpin menjalankan tugas, rakyat pasti mendukung dan membantunya. Keteladanan memimpin itulah seseorang dapat disebut pemimpin ideal.

Baginda nabi Muhammad S.A.W menjadi pemimpin dunia bukan karena pendidikan yang tinggi tetapi keteladanan dan kecerdasannya dalam mengelola sistem pemerintahan. Baginda nabi tidak memisahkan antara moral dan politik dalam artian, agama tidak terpisahkan dari politik. Kolaborasi keteladanan yang bertumpu pada moral dan politik membuat baginda nabi disegani di zaman itu.

Dalam terminologi islam, agama memang tidak pernah terpisahkan dari politik. Sebab, untuk menunjang jalannya politik yang baik dan benar, dibutuhkan moral yang baik pula. Tanpa moral politik akan berjalan sebagaimana sistem politik yang kita nikmati saat ini. Karena itu, pemimpin ideal tidak hanya cakap dalam politik dan ilmu pemerintahan  tapi juga memiliki moral etika.

Jauh sebelum nabi diangkat menjadi rasul, tanda-tanda kepemimpinannya sudah terlihat. Nama Muhammad telah dikenal seantero jazirah Arab. Ia  mendapat gelar al Amin dari kalangan masyarakat Quraisy yang artinya “terpercaya”.  Pengakuan masyarakat ini tak hanya datang dari kalangan bani Hasyim tetapi juga dari kabilah-kabilah di luarnya.

Kejujuran, adab dan etika yang dimiliki beliau tentu saja membuat takjub orang Arab di masa itu. Tidak ada sepatah-katapun yang diucapkan nabi kecuali yang benar. Karena keteladanan itu hingga jejak dan tutur-kata beliau sampai sekarang masih menjadi pedoman kaum muslimin di seluruh dunia.

Andai keteladanan itu dimiliki oleh pemimpin sekarang dunia pasti damai tanpa friksi yang (mungkin) dapat memicu konflik. Sulit mengembalikan kepemimpinan ala para nabi. Tak hanya nabi. Para sahabat juga mencontoh pemimpinnya. Sebut saja, Khalifah Umar Bin Khattab.  Ketika beliau diangkat menjadi pemimpin, perhatiannya terhadap rakyat sungguh luar biasa. Suatu ketika datang seseorang bertamu ke rumah beliau.

Sebelum masuk, sang tamu mengucapkan salam. “Apakah saya boleh masuk? kata sang tamu. Umar Bin Khattab bertanya: “apakah kedatanganmu pribadi atau untuk kepentingan rakyat”?  “Ini urusan pribadi ya amirul mukminin,” jawab sang tamu. Mendengar jawaban itu, Umar langsung mematika lampu minyak dan mempersilakan tamunya masuk.

Tentu saja tamu itu bertanya, mengaapa lampu harus dimatikan. Ternyata Umar sangat hati-hati menggunakan fasilitas negara termasuk minyak untuk penerangan lampu sekali pun. “Maaf saya terpaksa mematikan lampu karena minyaknya berasal dari  uang rakyat,” jelas Umar di hadapan tamunya. Jadilah perbincangan antara Umar dan tamunya dalam suasana gulita.

Dalam konteks pemerintahan saat ini, keteladanan yang dicontohkan baginda nabi dan para sahabatnya sudah tidak ditemukan lagi. Yang ada justru sebaliknya. Terkadang rakyat yang memberi tauladan bagi pemimpin.

Rakyat kini menjerit akibat ulah pemimpin yang hanya menjadikan rakyat sebagai batu pijakan untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Preferensi diri pemimpin yang dilayani rakyat. Mendahulukan kepentingannya. Hukum sebagai “panglima” di negeri ini hanyalah pretensi suatu pencitraan seakan-akan hukum masih tegak. Bicara keadilan, baginda nabi memberi contoh. Ia katakan, andai anakku (Fatimah) mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya”.

Secara tidak langsung, ucapan baginda ini bermakna peringatan. Bahwa hukum harus berlaku pada siapa pun tidak terkecuali bagi keluarga sendiri. “Ubi societas, ibi justicia – “di mana ada masyarakat dan kehidupan, di situ ada hukum dan keadilan”.(*)   

   

 

 

 

  

 

 

 

 

RELATED POSTS
FOLLOW US