Catatan
H.Rachmat Rolau
(Wartawan Senior)
APAPUN tingkat sertifikasi wartawan, kompetensi bukanlah pengakuan absolut melainkan sebagai pengakuan internal organisasi. Sebab, esensi pengakuan terhadap kompetensi itu terletak pada karya wartawan itu sendiri. Karena itu, seorang wartawan yang telah menyandang predikat kompten harus mempertanggung-jawabkannya di tengah masyarakat.
Konteks kompetensi ini ibarat ijazah atau gelar yang dimiliki seorang. Dalam kaitan ini saya teringat kata-kata ahli filsafat Rocky Gerung. Ia katakan: “ijazah itu hanya penanda bahwa orang itu pernah sekolah, bukan penanda orang itu pernah berpikir”.
Kata-kata ini menarik. Bahwa gelar atau predikat belum menjamin seseorang mampu membuat karya-karya terbaik yang diakui oleh masyarakat. Sebab kompetensi tertinggi bagi pers adalah karyanya yang diakui masyarakat sebagai lemabga sosial tertinggi.
Eksistensi pers sebagai profesi multi peran, tentu harus diakui terlebih lagi undang-undang telah memberikan hal itu di pasal 6 huruf (d). Disebutkan, pers berperan melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang terkait kepentingan umum.
Untuk menjalankan peran-peran ini, dibutuhkan kompetensi dan tanggungjawab besar. Kompetensi mengelola materi dalam bentuk berita, serta tanggungjawab informasi untuk masyarakat sebagaimana (masyarakat berhak mendapatkan informasi untk pengetahui).
Karena itu, pilkada 2024 miisalnya. Orang-orang pers tidak bisa lagi sekadar mengandalkan prinsip normatif netralitas serta independensi. Sebab, kunci utama keselamatan pers atas karyanya adalah “kearifan berpikir”. Kearifan ini dimaksudkan supaya pers tidak cuma melihat satu sisi tapi juga sisi lain yang mungkin lebih penting.
Pada kegiatan kampanye, konsentrasi wartawan biasanya pada orasi juru kampanye serta jumlah massa yang hadir. Tetapi harus juga mencermati ekosistem yang membuat kampanye bisa sukses. Inilah yang disebut sebagai “kearifan berpikir” – menghargai perjuangan dan usaha semua elemen.
Pilkada merupakan persaingan politik yang dilegalkan. Legalisasi politik itu dimaksudkan untuk memperebutkan suara rakyat. Oleh karena itu, pers dianggap perlu memiliki standarisasi pemberitaan agar tidak dituding sebagai pemicu peningkatan tensi politik yang mungkin saja bisa menyulut kekerasan di masyarakat.
Dalam “victimisasi pers”, menurut pakar hukum pidana, Prof JE Sahetapy, dikenal yang namanya korban tanpa adanya si pelaku. Pada posisi ini, pers merupakan pelaku “invisible criminal” – pelaku yang tidak terlihat. Karena sebab pemberitaannya menimbulkan dampak kekerasan dan pengrusakan oleh masyarakat.(robinhudtoday.com)