Catatan: H. Rachmat Rolau
SUARA ribuan katak bersahutan di hamparan lembah luas. Mereka ribut lantaran perseteruan dua monster: Buaya versus Singa. Ini pertarungan penguasa darat dan sungai. Yang kuat bakal berkuasa, yang lemah pasti jadi mangsa. Bahkan mungkin mati. Monster bertarung mati-matian demi kekuasaan dan gengsi.
Tak ada kompromi apalagi damai. Pokoknya perang! Ini yang membuat kawanan katak ribut. Ada katak tak berotak datang ke habitat sang buaya untuk memberi masukan atau sekadar pernyataan dukungan. Ada katak amfibi jadi pengamat. Sebagai komentator politik di depan cermin buram milik para pelanduk.
Kehadiran katak sang politisi bodoh dan penghianat itu di cermin buram membuat persoalan baru. Sang pelanduk tak mau tahu. Pokoknya siapa pun boleh tampil di layar buram miliknya. Apakah itu Naga si pembawa kedamaian, atau Ular si pembawa kegaduhan. Bagi pelanduk yang chuan, itu saja. Bagi katak sang politisi, cermin adalah arena debat kusir.
Ini debat membela popularitas dua monster. Debat demi tanda jasa karya Abunawas. Ini era demokrasi, era suka-suka. Siapa pun boleh bicara. Boleh tampil. Boleh bereksresi, bahkan boleh emosi. Di layar buram, fauna liar di belantara rimba menyaksikan perang opini dua monster.
Ada caci-maki, saling ejek, saling fitna, bahkan sampai menyerempet rana privat. Perdebatan antar pendukung sang monster makin panas. Kawanan katak terbelah. Debat seruh di mana-mana. Mereka tidak menyadari bahwa perdebatan tak sehat itu terpancar ke seluruh ruang jagat.
Pembaca skenario perang akan ditatap semua jenis burung di seluas bumi. Lalu dikomentari kawanan katak di seluruh penjuru lembah. Ini yang tak disadari oleh dua monster petarung. Bahwa berperang, burung-burung di semua benua ramai menggepak sayap bersorak-sorai.
Ada katak yang tak ingin tampil di cermin buram karena malu. Ia tahu diri. Merasa tak pantas.Tapi demi loyalitas pada sang monster, sang katak politisi harus bersedia tampil di depan cermin buram untuk membacakan skenario perang terbaru: Kura-kura Ninja.
Nalar tidak sama. Pengetahuannya terhadap esensi perang dua monster berbeda. Lalu terpecah menjadi tiga blok. Blok barat pendukung sang Buaya. Blok timur pendukung Singa si raja darat. Ini baru panas lantaran kominitas katak yang berdiam di hamparan sawah milik para juragan menyatakan: tidak mendukung salah satu blok.
Dari hamparan lembah hijau di antara dua bukit, semua katak berharap paduka turun meredam pertarungan politik monster yang sudah tidak sehat. Bila perang terus berlanjut akan menghancurkan salah satu monster. Ini berbahaya karena bisa mengubah ekosistem.
******
Politik katak hanyalah sebuah ilustrasi tentang kondisi politik tanah air. Politik adu-domba bertabur kepalsuan dan kebohongan. Politisi tersandera kekuasaan. Mereka dipaksa mengikuti arus. Jadilah mereka politisi yang kehilangan jati diri dan tidak punya komitmen.
Politisi hari ini bukanlah politisi era kemerdekaan yang gigih berjuang untuk rakyat. Politisi hari ini adalah laron yang terjebat oleh cahaya dan kemewahan. Membenturkan sesama anak bangsa demi mengamankan posisinya di zona kenikmatan fasilitas milik rakyat.
Politisi menjadi apatis terhadap kehidupan rakyat yang terbelengggu kesulitan. Mereka senang melihat rakyat susah, dan susah melihat rakyat senang. Banyak pemimpin dan politisi yang mengaku berempati terhadap rakyat. Tetapi sesungguhnya mereka adalah anti kesejahteraan dan antek oligarki.
Di media mereka bicara tentang keadilan, kesejahteraan, bahaya korupsi, kejujuran dan ketulusan. Tetapi faktanya, ucapan mereka hanyalah sebuah kamuflase untuk menutupi kehausan, kerakusan dan kebuasan terhadap harta, tahta dan jabatan. Mereka orang-orang yang kaya retorika tetapi kerdil dan miskin eksekusi dan moral. Memang, masih banyak pemimpin dan politisi yang tulus terhadap rakyat.
Namun ketulusan segelintir pemimpin itu akhirnya tersingkir oleh derasnya fitnah dan rekayasa politik amoral. Rakyat muak menyaksikan drama politik rekayasa dan belah bambu. Di hadapan rakyat terlihat lugu. Inilah ciri penghianat yang cuma bisa menciptakan opini dan sensasi, tanpa mampu memberi solusi. Politisi asal Prancis, Charles de’ Gaulle mengatakan, “politisi itu tidak pernah percaya pada ucapannya sendiri, tetapi justru mereka heran ketika rakyat memercayainya.(robinhoodtoday.com)